Islam
mengajarkan umatnya untuk melindungi dan menjaga alam dan lingkungan.
Pada masa kekhalifahan, peradaban Islam di Semenanjung Arab memiliki dan
menjaga kawasan konservasi yang disebut Hima. Hima merupakan zona yang
tak boleh disentuh atau digunakan untuk apapun bagi kepentingan
manusia. Tempat tersebut digunakan sebagai konservasi alam, baik untuk
kehidupan binatang liar maupun tumbuh-tumbuhan.
Sebelum
ajaran Islam turun, masyarakat Arab juga telah mengenal hima. Para era
pra-Islam, hima sering digunakan untuk melindungi suku-suku nomaden
tertentu dari musim kemarau yang panjang. Hima yang cenderung subur
karena mengandung banyak air dan rumput digunakan sebagi tempat
menggembala ternak. Para pemimpin suku-suku nomaden yang cerdik
menggunakan hima untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Murut
al-Shafi‘i, seorang ilmuwan Muslim di era keemasan, pada masa
pra-Islam, hima digunakan sebagai alat untuk melakukan penindasan
terhadap suku-suku lain.
Para
sejarawan Muslim di masa kekhalifahan juga kerap mengupas masalah itu.
Pada masa pra-Islam, hima berada dibawah perlindungan dewa suku-suku
tertentu. Baik tumbuhan maupun binatang
di dalam hima sangat dilindungi. Sehingga binatang-bintang di dalam
hima memiliki hak istimewa yakni berkeliaran sesuka hati, merumput tanpa
ada gangguan manusia. Setelah datangnya agama Islam, konsep hima
sebagai tempat perlindungan binatang dan tumbuhan tetap dilestarikan.
Para khalifah terus menyerukan dan mempraktikkan perlindungan terhadap
hima . Pada masa kejayaan Islam, para khalifah kerap mengatakan, setiap
spesies binatang memiliki bangsanya sendiri.
Krisis
lingkungan yang terjadi saat ini sebenarnya bersumber pada kesalahan
fundamentalis-filosofis dalam pemahaman ataucara pandang manusia
terhadap dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem.
Kesalahan itu menyebabkan kesalahan pola perilaku manusia, terutama
dalam berhubungan dengan alam.
Aktivitas
produksi dan perilaku konsumtif gila-gilaan melahirkan sikap dan
perilaku eksploitatif. Di samping itu, paham materialisme, kapitalisme,
dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah ikut
mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan.
Upaya
untuk penyelamatan lingkungan telah banyak dilakukan baik melalui
penyadaran kepada masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholders),
upaya pembuatan peraturan, kesepakatan nasional dan internasional,
undang-undang maupun melalui penegakan hukum. Penyelamatan melalui
pemanfaatan sains dan teknologi serta program-program teknis lain juga
telah banyak dilakukan.
Islam
mempunyai konsep yang sangat jelas tentang pentingnya konservasi,
penyelamatan, dan pelestarian lingkungan. Konsep Islam tentang
lingkungan ini ternyata sebagian telah diadopsi dan menjadi prinsip
ekologi yang dikembangkan oleh para ilmuwan lingkungan. Prinsip-prinsip
ekologi tersebut telah pula dituangkan dalam bentuk beberapa kesepakatan
dan konvensi dunia yang berkaitan dengan lingkungan. Akan tetapi,
konsep Islam yang sangat jelas tersebut belum dimanfaatkan secara nyata
dan optimal.
Maka,
harus segera dilakukan penggalian secara komprehensif tentang konsep
Islam yang berkaitan dengan lingkungan serta implementasi dan
revitalisasinya. Konsep Islam ini kemudian bisa digunakan sebagai dasar
pijakan (moral dan spiritual) dalam upaya penyelamatan lingkungan atau
bisa disebut sebagai “teologi lingkungan”. Sains dan teknologi saja
tidak cukup dalam upaya penyelamatan lingkungan yang sudah sangat parah
dan mengancam eksistensi dan fungsi planet bumi ini. Permasalahan
lingkungan bukan hanya masalah ekologi semata, tetapi menyangkut
teologi.
Pusat Perhatian
Pengertian
“teologi” dalam konteks ini adalah cara “menghadirkan” dalam setiap
aspek kegiatan manusia. Dalam bahasa lain, teologi dapat dimaknai
sebagai konsep berpikir dan bertindak yang dihubungkan dengan “Yang
Gaib” yang menciptakan sekaligus mengatur manusia dan alam. Jadi,
terdapat tiga pusat perhatian (komponen) bahasan yakni Tuhan, manusia,
dan alam, yang ketiganya mempunyai kesatuan hubungan fungsi dan
kedudukan. Jadi, teologi hubungan antara manusia dan alam dengan Tuhan
adalah “konsep berpikir dan bertindak tentang lingkungan hidup yang
mengintegrasikan aspek fisik (alam termasuk hewan dan tumbuhan), manusia
dan Tuhan”
Realitas
alam ini tidak diciptakan dengan ketidaksengajaan (kebetulan atau
main-main) sebagaimana pandangan beberapa saintis barat, tetapi dengan
rencana yang benar al-Haq (Q.S. Al-An’am: 73; Shaad: 27; Al-Dukhaan:
38-39). Oleh karena itu, menurut perspektif Islam, alam mempunyai
eksistensi riil, objektif, serta bekerja sesuai dengan hukum yang
berlaku tetap (qodar). Pandangan Islam tidak sebagaimana pandangan
aliran idealis yang menyatakan bahwa alam adalah semu dan maya.
Pandangan
Islam tentang alam (lingkungan hidup) bersifat menyatu (holistik) dan
saling berhubungan yang komponennya adalah Sang Pencipta alam dan
makhluk hidup (termasuk manusia). Dalam Islam, manusia sebagai makhluk
dan hamba Tuhan, sekaligus sebagai wakil (khalifah) Tuhan di muka bumi
(Q.S. Al-An’am: 165). Manusia mempunyai tugas untuk mengabdi, menghamba
(beribadah) kepada Sang Pencipta (Al-Kholik). Tauhid merupakan sumber
nilai sekaligus etika yang pertama dan utama dalam teologi pengelolaan
lingkungan.
Konsep lingkungan
Asas
keseimbangan dan kesatuan ekosistem hingga saat ini masih banyak
digunakan oleh para ilmuwan dan praktisi lingkungan dalam kegiatan
pengelolaan lingkungan. Asas tersebut juga telah digunakan sebagai
landasan moral untuk semua aktivitas manusia yang berkaitan dengan
lingkungannya. Akan tetapi, asas keseimbangan dan kesatuan tersebut
masih terbatas pada dimensi fisik dan duniawiah dan belum atau tidak
dikaitkan dengan dimensi supranatural dan spiritual terutama dengan
konsep (teologi) penciptaan alam. Jadi, terdapat keterputusan hubungan
antara alam sebagai suatu realitas dan realitas yang lain yakni yang
menciptakan alam. Dengan kata lain, nilai spiritualitas dari asas
tersebut tidak terlihat.
Islam
merupakan agama (jalan hidup) yang sangat memerhatikan tentang
lingkungan dan keberlanjutan kehidupan di dunia. Banyak ayat Alquran dan
hadis yang menjelaskan, menganjurkan bahkan mewajibkan setiap manusia
untuk menjaga kelangsungan kehidupannya dan kehidupan makhluk lain
dibumi. Konsep yang berkaitan dengan penyelamatan dan konservasi
lingkungan (alam) menyatu tak terpisahkan dengan konsep keesaan Tuhan
(tauhid), syariah, dan akhlak.
Setiap
tindakan atau perilaku manusia yang berhubungan dengan orang lain atau
makhluk lain atau lingkungan hidupnya harus dilandasi keyakinan tentang
keesaan dan kekuasaan Allah SWT. yang mutlak. Manusia juga harus
bertanggung jawab kepada-Nya untuk semua tindakan yang dilakukannya. Hal
ini juga menyiratkan bahwa pengesaan Tuhan merupakan satu-satunya
sumber nilai dalam etika. Bagi seorang Muslim, tauhid seharusnya masuk
ke seluruh aspek kehidupan dan perilakunya. Dengan kata lain, tauhid
merupakan sumber etika pribadi dan kelompok, etika sosial, ekonomi dan
politik, termasuk etika dalam mengembangkan sains dan teknologi.
Di
dalam ajaran Islam, dikenal juga dengan konsep yang berkaitan dengan
penciptaan manusia dan alam semesta yakni konsep Khilafah dan Amanah.
Konsep khilafah menyatakan bahwa manusia telah dipilih oleh Allah di
muka bumi ini (khalifatullah fil’ardh). Sebagai wakil Allah, manusia
wajib untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat
Allah. Salah satu sifat Allah tentang alam adalah sebagai pemelihara
atau penjaga alam (rabbul’alamin). Jadi sebagai wakil (khalifah) Allah
di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga
bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat
kehidupan makhluk Allah termasuk manusia sekaligus menjaga keberlanjutan
kehidupannya.
Manusia
mempunyai hak atau diperbolehkan untuk memanfaatkan apa-apa yang ada di
muka bumi (sumber daya alam) yang tidak melampaui batas atau berlebihan
(Al-An’am: 141-142).
Manusia
baik secara individu maupun kelompok tidak mempunyai hak mutlak untuk
menguasai sumber daya alam yang bersangkutan istilah “penaklukan” atau
“penguasaan” alam seperti yang dipelopori oleh pandangan barat yang
sekuler dan materialistik tidak dikenal dalam Islam. Islam menegaskan
bahwa yang berhak menguasai dan mengatur alam adalah Yang Maha Pencipta
dan Maha Mengatur yakni Rabbul Alamin. Hak penguasaannya tetap ada pada
Tuhan Pencipta. Manusia wajib menjaga kepercayaan atau amanah yang telah
diberikan oleh Allah tersebut. Dalam konteks ini, alam terutama bumi
tempat tinggal manusia merupakan arena uji bagi manusia. Agar manusia
bisa berhasil dalam ujiannya, ia harus bisa membaca “tanda-tanda” atau”
ayat-ayat” alam yang ditujukan oleh Sang Maha Pengatur Alam. Salah satu
agar manusia mampu membaca ayat-ayat Tuhan, manusia harus mempunyai
pengetahuan dan ilmu.
Lingkungan
alam ini oleh Islam dikontrol oleh dua konsep (instrumen) yakni halal
dan haram. Halal bermakna segala sesuatu yang baik, menguntungkan,
menenteramkan hati, atau yang berakibat baik bagi seseorang, masyarakat
maupun lingkungan. Sebaliknya segala sesuatu yang jelek, membahayakan
atau merusak seseorang, masyarakat dan lingkungan adalah haram. Jika
konsep tauhid, khilafah, amanah, halal, dan haram ini kemudian
digabungkan dengan konsep keadilan, keseimbangan, keselarasan, dan
kemaslahatan maka terbangunlah suatu kerangka yang lengkap dan
komprehensif tentang etika lingkungan dalam perspektif Islam.
Konsep
etika lingkungan tersebut mengandung makna, penghargaan yang sangat
tinggi terhadap alam, penghormatan terhadap saling keterkaitan setiap
komponen dan aspek kehidupan, pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan
persaudaraan semua makhluk serta menunjukkan bahwa etika (akhlak) harus
menjadi landasan setiap perilaku dan penalaran manusia. Kelima pilar
etika lingkungan tersebut sebenarnya juga merupakan pilar syariah Islam.
Syariah yang bermakna lain as-sirath adalah sebuah “jalan” yang
merupakan konsekuensi dari persaksian (syahadah) tentang keesaan Tuhan.
sumber :
http://dkmfahutan.wordpress.com/2008/05/19/islam-dan-penyelamatan-lingkungan/